Rabu, 11 Desember 2019

Waduh! Kuliah, Investasi Yang Merugi, Begini Ulasannya

Memang perlu disusuri alasannya mengapa seseorang kuliah mahal-mahal. Apakah hanya niatnya menuntut ilmu, atau setelah lulus supaya dapat kerja. Begitu secara seksama didalami setidaknya akan menemukan tanda-tanda sikap dan pemikiran yang berbeda dari keduanya.

Yang satu benar-benar cari ilmu. Yang kedua untuk cari kerja. Mungkin pilihan pertama yang hanya semata-mata mencari ilmu sangat jarang. Kebanyakan motivasi yang kedua yakni mudah cari kerja dan saat kerja diharapkan posisi tinggi dan gaji besar.

Semata-mata buat nambah ilmu mungkin tidak terlalu menghitung berapa uang yang dihabiskan selama kulliah. Lihatlah perbedaannya akan sangat tampak jika niatnya mencari kerja. Niat cari kerja maka ujung-ujungnya yang dikejar adalah uang.

Sekedar untuk menemukan gambarannya, bisa saja anda menghitung berapa uang yang dihabiskan selama kuliah lalu hitung berapa uang yang akan diperoleh dari gaji. Itupun belum tentu langsung dapat kerja. Biaya hidup, transportasi, dan lain-lain selama kegiatan kuliah. Jika 1 bulan ternyata diakumulaskan menghabiskan 4 juta maka kuliah anda selama 4 tahun (48 bulan) menghabiskan uang 4 x 48 = 172 juta, belum uang pendaftaran, uang semester dan wisuda.

Mari kita bermain-main dengan perhitungan ini, antara hitungan uang kuliah dan kerja. Jika gaji sebulan 10 juta maka untuk kembali modal saja perlu 1 tahun setengah. Ini perhitungan jika situasinya lancar. Jika belum juga mendapat kerjaan. Jika dapat kerjaan maka 18 bulan baru kembali modal.

Mari kembali main-main dengan angka tersebut. Kita misalkan saja, gaji yang diperoleh ternyata cuma 5 juta. Pekerjaan ini diambil karena susahnya cari kerjaan maka kerjaan itu mau tak mau diambil. Maka jika gaji 5 juta sebulan biaya kuliah baru lunas setelah 36 bulan. Lihatlah hitungan ini. 3 tahun baru lunas biaya kuliah. Perhitungan lainnya bisa anda kembangkan sendiri.

Dengan adanya fakta betapa banyak sarjana yang nganggur dan belum juga dapat kerjaan maka wajar jika dikatakan kuliah adalah invertasi merugi.

Bimo Ario Tejo associate professor dan dekan Faculty of Applied Sciences (2016-2019) UCSI University, Malaysia, dinukil, news.detik.com, memaparkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menganut konsumerisme di mana pendidikan masih dianggap sebagai komoditas yang dilihat dari aspek untung-rugi.

Biaya kuliah yang semakin mahal tanpa adanya jaminan mendapatkan pekerjaan yang layak menjadikan pilihan masuk ke perguruan tinggi sebagai investasi merugi. Jika hal ini tidak diatasi, animo masyarakat untuk kuliah dikhawatirkan akan menurun. Akibatnya nasib 4600 institusi pendidikan tinggi kita akan berada di ujung tanduk.

Di Amerika Serikat misalnya, jumlah mahasiswa baru terus mengalami penurunan selama 9 tahun berturut-turut sejak 2011 sampai sekarang. Salah satu faktor yang menjadi sebab penurunan minat kuliah adalah membaiknya perekonomian Amerika selama 10 tahun terakhir yang menyebabkan mudahnya mendapatkan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan rendah. Konsekuensinya, jumlah perguruan tinggi yang gulung tikar terus meningkat.

Pada 2016, Malaysia telah memperkenalkan program 2U2I (2 tahun di universitas dan 2 tahun di industri) untuk menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan dan kesiapan kerja yang tinggi. Demikian juga beberapa universitas di Inggris memiliki program 3+1 (3 tahun di universitas dan 1 tahun di industri) dengan tujuan yang sama.

Tentu saja revolusi dunia pendidikan tinggi harus didukung oleh seluruh pemegang kepentingan, mulai dari Kemenristekdikti, universitas, tenaga pengajar, dan mahasiswa. Tidak ada perubahan yang nyaman. Setiap perubahan pasti mendobrak kenyamanan. Tetapi akan lebih tidak nyaman jika perguruan tinggi harus gulung tikar karena kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

Baca juga artikel berikut :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar